Sore itu, Ryeowook sedang memaikan pianonya, ‘To Be With You’, yang biasa orang tuanya mainkan. Entah mengapa, tiba-tiba saja tuts piano pertama yang akan ia tekan tidak mau berbunyi.
“Hm... usiamu memang sudah tua, tapi tidak seharusnya begini... ayolah, berbunyilah untukku..” ucap Ryeowook, sambil menekannya, namun tuts piano itu tetap tidak berbunyi. Akhirnya Ryeowook menyerah karena satu tuts yang tidak berbunyi itu. Ia memeriksa bagian dalamnya dan menemukan satu bagian yang patah dari tuts tersebut.
“Ryeowookie ah...” panggil Sungmin, yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Hai Hyung, tidak biasanya kau datang tanpa menghubungiku...” Ucap Ryeowook dengan nada senang.
Sungmin hanya tersenyum karena tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Sesaat ia teringat akan percakapannya tadi.
“Jadi Paman Jongwoon sakit parah?”
“Iya, sejak nyonya meninggal, ia menjadi pekerja yang keras sampai tidak memikirkan dirinya. Melupakan tidur dan makan. Jantung dan lambungnya bermasalah. Dan sejak kemarin, ia belum makan apapun”.
“Apakah sudah memberi tahu Ryeowook?”
“Tuan meminta saya untuk tidak mengatakan hal ini padanya”.
“Dan paman benar-benar tidak akan memberitahukannya?” tanya Sungmin dengan nada agak ketus. “Dalam hati saya sempat khawatir, namun saya percaya, tidak akan ada hal buruk yang akan menimpa Tuan. Tuan tidak ingin membuatnya khawatir”.
“Anda begitu loyal pada Paman Jongwoon. Saya pun akan loyal kepada teman saya”.
Setelah mengucapkan hal itu, Sungmin pergi meninggalkan asisten Jongwoon.
Entahlah, mungkin orang itu berpikir Sungmin akan memberi tahu Ryeowook tentang hal itu. Tadinya memang demikian, namun saat melihat wajah Ryeowook yang begitu ceria menyambutnya, Sungmin jadi tidak tega untuk mengatakan hal itu pada sahabatnya.
“Hyung...” Panggil Ryeowook yang heran, melihat Sungmin hanya terdiam.
“Ah? Ada apa?” Sahut Sungmin gugup
“Aku yang seharusnya bertanya, ada apa mencariku?”
“Hmm..... hanya ingin menemanimu, apakah tidak boleh?”
“Tentu saja boleh! Tapi hari ini biasanya ayah pulang, jadi kau tak bisa terlalu lama mungkin,”.
Sungmin tersenyum, “Baiklah, kalau begitu, aku akan menemanimu sampai ayahmu datang, yah!”
“Hyung baik sekali, terimakasih..” Ucap Ryeowook.
“Kamu sedang apa?” Tanya Sungmin kaku.
“Tadi aku bermain piano, namun tutsnya patah, mungkin karena terlalu kuat menekannya..” ucapnya. “Piano lama sih,”
“O, ya? Memang sudah berapa tahun umur piano ini?”
“Kudengar sih, seumur ayah. Jadi saat nenek melahirkan ayah, kakek membeli ini sebagai hadiah, dengan harapan ayah akan menjadi pianis terkenal”.
“Hmm... tapi tidak terlihat setua itu, yah!”
“Tentu saja, kami selalu merawatnya..” Ryeowook berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari Grandpiano berwarna putih itu. “Sepertinya harus diservis”. Ia menghela nafas dan segera memanggil Kepala Pelayan Hwang untuk mengurus semua persiapan untuk menservis pianonya.
Ryeowook berjalan menuju sebuah bangunan yang terpisah dari rumahnya. Bangunan tersebut terbuat dari kayu dan perlu menaiki tangga untuk sampai di terasnya. Di atas teras yang lantainya juga terbuat dari kayu itu terdapat 4 buah kursi rotan yang mengelilingi sebuah menja kayu.
“Kau tidak pernah mengajakku ke tempat ini sebelumnya,” ucap Sungmin, Ryeowook tersenyum,
“Memang,” ia menatap ke arah langit. “Ini tempat ayahku menghabiskan waktu. Entah mengapa tiba-tiba ingin kesini”.
Jantung Sungmin berdebar lagi. Dadanya terasa sesak. Ingin menangis rasanya, mengingat Ryeowook yang memiliki perasaan begitu dalam terhadap ayahnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya saat ini.
Bagaimana jadinya bila ia tahu? Sungmin tak dapat membayangkan hal itu. Mungkin senyum itu akan berubah menjadi tangis.Kemudian ia teringat akan kata-kata asisten ayah Ryeowook, percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ponsel Sungmin berbunyi. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuruni teras. “Oh, Pak Jung? Iya, bagaimana? Syukurlah kalau begitu. Bolehkah saya menjenguknya? Baik, Pak... Terimakasih”.
“Siapa?” tanya Ryeowook setelah Sungmin kembali.
“Eh?” Sungmin bingung harus menjawab apa. “Temanku. Ya, ayah temanku sakit. Aku harus pergi menjenguknya... sampai jumpa Wookie ah...” Ucap Sungmin gugup.
“Oh, baiklah....” Ucap Ryeowook sambil meletakan dagunya di atas kepalan tangannya. “Aneh sekali..” Gumamnya. “Hey, Hyung.... Teman yang mana? Bolehkah aku ikut?” teriaknya sambil berlari menuju tangga. Namun Sungmin sudah tak terlihat.
Langit semakin gelap. Sungmin berjalan menuju rumah sakit. Ia melihat ke arah langit yang berwarna biru gelap. Terdapat banyak bintang di sana. Dalam hati ia bersyukur Jongwoon, ayah dari sahabatnya sudah sadar.
Di sebelah rumah sakit, Sungmin melihat sebuah toko. Sungmin masuk ke toko itu dan mengambil beberapa botol susu dan air mineral. Ia membeli itu untuk Jongwoon.
Ruangan itu tampak gelap saat Sungmin membuka pintunya. Laki-laki itu sedang duduk sambil menatap jendela yang belum ditutup. Ia tampak terkejut saat pintu itu terbuka, dan menyipitkan matanya saat Sungmin menyalakan lampu.
Untuk beberapa saat ia menatap anak laki-laki yang menjenguknya itu. “Kau? Lee Sungmin?” Sungmin tersenyum,
“Paman mengenalku?”
“Temannya Ryeowook? Mengapa bisa tahu aku ada di sini?” tanya Jongwoon dengan ketus sambil mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
“Saya melihat saat paman sedang dibawa ke UGD” Jawab Sungmin sambil meletakan bawaannya di atas meja di dekat tempat tidur Jongwoon.
“Apakah Ryeowook tahu tentang hal ini?” Sungmin menggeleng.
“Aku tidak tega membiarkan dia tahu, namun lebih sedih lagi bila ia tidak tahu. Jadi sebaiknya Paman lekas sembuh. Beristirahatlah di rumah, agar Ryeowook bisa merawatmu”. Sungmin menutup jendela kamar Jongwoon dan menarik tirainya. “Aku pamit, ya, Paman!”.
Sungmin berjalan lagi menuju rumahnya. Ia memilih melewati sebuah gang, agar tidak terlalu ramai. Udaranya mulai dingin. Ia melipat kedua tangan di depan dadanya. Sesampainya ia di belokan terakhir menuju rumah, ada seseorang memanggilnya.
“Lee Sungmin..” Suara itu terdengar ketus.
Sungmin menoleh ke arah suara itu. Tepat di sampingnya, seorang laki-laki berpostur tinggi dengan rambut hitam pendek menggunakan blazer berwarna hitam dengan panjang hampir menyentuh tanah, berdiri. Orang itu tidak asing bagi Sungmin. Ia melihat laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya, “Cho Kyuhyun...?”
Laki-laki bernama Cho Kyuhyun itu berjalan mendekat ke arahnya, “Kau masih ingat aku?” ucapnya sambil memandang Sungmin dengan tatapan yang dingin. Di bibirnya tersungging sebuah senyumam sinis.
“ Mianhae...” Ucap Sungmin.
“Maaf? Kau bilang maaf? Setelah meninggalkan aku, hanya ‘maaf’ yang bisa kau katakan?” Nada suara Kyuhyun mulai meninggi. Ia memepet Sungmin hingga tubuhnya berbenturan dengan tembok.
Kyuhyun menempatkan tubuhnya tepat di hadapan Sungmin hingga Sungmin tak dapat pergi kemana pun. Laki-laki itu kemudian meletakan tangannya di leher Sungmin, menggenggamnya, hendak mencekiknya. Sungmin hanya memejamkan matanya. Ia tak melawan sedikit pun.
Melihat reaksi Sungmin yang seperti itu, Kyuhyun menghentikan tindakannya, dan pergi. Namun Sungmin terlanjur sesak nafas dan jatuh pingsan. Sampai malam hari, Sungmin masih tergeletak di situ. Tak seorang pun mengetahui, karena jalan tersebut memang sepi.
***To Be Continued****